BISNISBALI.com – Kementerian Pariwisata menilai sebagaimana tertuang dalam RPJMN 2025-2029, Bali merupakan salah satu dari 3 destinasi pariwisata regeneratif selain Greater Kepulauan Riau dan Greater Jakarta.
Deputi Bidang Produk Wisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata RI Vinsensius Jemadu di Denpasar belum lama ini menerangkan, dari sisi kunjungan wisatawan mancanegara (2024) kunjungan di Bali mencapi 6.333.360, Jakarta 2.536.224 dan Riau 1.923.120. Untuk pergerakan wisatawan nusantara (2024) perjalanan di Bali mencapai 45.289.878, Jakarta 197.740.093 dan Riau 6.983.894. Sementara dari realisasi investasi (2024) di Bali Rp11,51 triliun (Provinsi, bukan Greater), Jakarta Rp11,51 triliun (Provinsi, bukan Greater) dan Riau Rp1,91 triliun (Provinsi, bukan Greater)
Bagaimana dengan isu dan permasalahan kepariwisataan Bali. Kementerian Pariwisata memuat, pertama, adanya ketimpangan pembangunan pariwisata (Concentrated Tourism di Bali Selatan). Fokus pembangunan pariwisata di wilayah Bali Selatan dibanding wilayah lainnya mengakibatkan terjadinya kemacetan ekstrim di Kuta, Canggu, dan Ubud, serta tekanan pada infrastruktur dan sumber daya alam. Ekstraksi air berlebihan oleh hotel mewah mengakibatkan kekurangan air bagi penduduk lokal.
Kedua, soal pengelolaan limbah. Bali menghasilkan sekitar 1,6 juta ton sampah per tahun, dengan hanya 48% yang dikelola secara bertanggung jawab. Sampah plastik mencemari pantai dan laut, mengancam ekosistem dan citra pariwisata Bali.
Ketiga, Penyalahgunaan Visa dan Ketertiban Wisatawan (Usaha dan Tenaga Kerja illegal). Beberapa wisatawan asing menunjukkan perilaku tidak menghormati budaya lokal, seperti berpakaian tidak pantas di pura atau melakukan tindakan tidak senonoh di situs suci.
Meningkatnya penyalahgunaan visa turis untuk menjalankan bisnis ilegal, seperti membuka usaha tanpa izin dan bekerja tanpa adanya visa kerja menimbulkan persaingan tidak adil dengan pelaku usaha lokal dan merugikan ekonomi masyarakat setempat.
Keempat, Gentrifikasi dan Kesenjangan Sosial. Kenaikan harga tanah dan properti akibat investasi asing memaksa penduduk lokal pindah dari Kawasan wisata. Gentrifikasi ini mengikis budaya lokal dan meningkatkan kesenjangan sosial.
Kelima, tata kelola dan perizinan (Usaha Sporadis dan Illegal). Maraknya pembangunan hotel dan vila tanpa izin menyebabkan oversupply akomodasi, penurunan harga, dan persaingan tidak sehat.
Pembangunan akomodasi tanpa izin juga berdampak pada tingkat hunian akomodasi resmi (hotel, homestay, dsb). Alih fungsi lahan pertanian menjadi Kawasan wisata juga mengancam ketahanan pangan dan keseimbangan ekologi.
Terakhir keenam, efisiensi anggaran belanja pemerintah. Efisiensi belanja pemerintah berdampak terhambatnya promosi dan pengembangan destinasi, penurunan kualitas infrastruktur dan layanan publik, serta lambatnya penanganan masalah seperti sampah dan overtourism. Hal ini juga melemahkan daya saing Bali dibanding destinasi lain dan menghambat upaya menuju pariwisata yang berkelanjutan.*dik