Denpasar (bisnisbali.com) –Pemerintah terus menyiapkan berbagai upaya untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional, diantaranya berupa serangkaian kebijakan stimulus ekonomi.

Pemerintah bahkan telah merumuskan sejumlah insentif ekonomi untuk kuartal II tahun 2025.

Ada 6 Paket Stimulus berbasis konsumsi domestik, dengan fokus pada peningkatan aktivitas masyarakat di sektor transportasi, energi hingga bantuan sosial. Menyikapi kondisi tersebut, pengamat ekonomi Bhima Yudhistira kepada Bisnis Bali mengatakan, pemerintah perlu menambahkan isentif lainnya.

Bhima yang juga Direktur Celios ini mengusulkan insentif lainnya yakni pemangkasan tarif PPN pada Juni 2025 dari 11 persen ke 9 persen. Menurutnya penurunan tarif pajak PPN dari 11 persen ke 9 persen bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi karena masyarakat akan membelanjakan uang lebih banyak untuk beli barang dan jasa.

“Pendapatan negara dari skema penurunan tarif PPN justru akan positif karena dikompensasi oleh kenaikan penerimaan lain seperti setoran PPh badan, dan PPh 21 karyawan,” katanya.

Selanjutnya, industri pengolahan khususnya yang berorientasi pasar dalam negeri akan mendapat manfaat terbesar dari pemangkasan tarif PPN. Sebesar 25 persen porsi penerimaan pajak berasal dari sumbangan industri pengolahan.

Kenapa PPN perlu dipangkas? Diakui Bhima, beberapa negara sudah terlebih dulu menurunkan tarif PPN seperti Vietnam sebesar 2 persen penurunan PPN hingga 2026, Irlandia juga memangkas tarif PPN paska pandemi untuk menstimulus pemulihan daya beli masyarakat. Jerman juga melakukan pemangkasan tarif PPN reguler sebesar 3 persen.

Selain PPN, pelebaran PTKP (Penghasilan Tidak Kena Pajak) juga bermanfaat untuk meningkatkan disposable income atau penghasilan yang dapat dibelanjakan setelah dikurangi pajak. PTKP saat ini Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan. Idealnya PTKP bisa dinaikkan jadi Rp7 juta – Rp 8 juta per bulan karena kelas menengah juga butuh stimulus perpajakan.*dik