Denpasar (bisnisbali.com) –Di Bali rata-rata pengeluaran per kapita per tahun menurut harga berlaku tahun 2024 (juta rupiah) di Jembrana mencapai Rp12.638, Tabanan Rp15.297, Badung Rp18.556, Gianyar Rp15.557, Klungkung Rp12.358, Bangli Rp12.148, Karangasem Rp11.176, Buleleng Rp14.337, Denpasar Rp20.763 dan Bali Rp14.920.
Kepala BPS Provinsi Bali, Agus Gede Hendrayana Hermawan di Denpasar menegaskan, BPS sebenarnya tidak memiliki indikator untuk menyatakan berapa orang itu layak hidup di Indonesia, begitupula di Bali. Artinya, BPS tidak membuat kriteria batasan layak atau tidak layak, yang ada adalah batasan miskin atau tidak miskin dengan pendekatan kebutuhan dasar.
“Yang ada di kami itu sebenarnya adalah orang itu mampu memenuhi kebutuhan dasarnya atau tidak. Kebutuhan dasar itu yang digunakan untuk mengukur kemiskinan. Ini yang ada di BPS apakah orang itu miskin atau enggak,” katanya Jumat (16/5).
Dijelaskan, konsep kemiskinan yang digunakan BPS adalah konsep kebutuhan dasar atau Basic Needs Approach. Ini merupakan metode pendekatan yang dilakukan BPS untuk menetapkan angka kemiskinan.
“Tapi kalau kita bicara layaknya berapa? Versi saya itu ada UMR, UMP. Tapi kalau versinya BPS sering dilihat misalnya standar hidup layak di salah satu dimensinya yaitu Indeks Pembangunan Manusia (IPM),” ujarnya.
Bicara IPM dengan melihat pembangunan manusia secara keseluruhan secara holisolitik. Seberapa besar akses seseorang terhadap hasil-hasil pembangunan. Itu bisa dilihat dari dimensi Kesehatan, pendidikan dan ekonomi. Dalam dimensi ekonomi itu ada yang disebut sebagai Processing Power Parity (PPP).
“PPP ini sering digunakan di beberapa media dijadikan indikator yang mewakili standar hidup lainnya. Padahal PPP itu adalah dimensi ekonomi untuk melihat seberapa besar kemampuan masyarakat dalam mengakses kue ekonomi di suatu wilayah,” jelasnya.
Semakin tinggi nilai PPP di satu wilayah, itu artinya masyarakat di situ semakin berdaya karena tingkat pengeluarannya semakin tinggi. Contoh ada data Denpasar dikatakan tertinggi. Jadi bukan berarti Denpasar itu PPP-nya paling tinggi, artinya Denpasar itu standar hidupnya paling tinggi. Artinya, kemampuan pengeluaran penduduk Denpasar secara rata-rata itu paling tinggi.
“Ini adalah pendekatan pengeluaran yang menjadi proxy kemampuan ekonomi, sebenarnya begitu. Jadi bukan bukan batas minimal untuk hidup di sana tidak,” terangnya.
“Jadi kalau bicara berapa pantasnya orang untuk bisa hidup di Denpasar, layak, tentu kami tidak punya. Tapi berapa orang agar bisa memenuhi kebutuhan dasarnya sehingga dia tidak miskin, yaitu garis kemiskinan,” ucap Agus Gede Hendrayana Hermawan.
Berapa uang yang dibutuhkan untuk hidup layak? Ia menerangkan, konsep layak itu perlu dijabarkan dulu. Kalau konsep layaknya itu sama dengan tidak miskin maka menggunakan standar garis kemiskinan.
Sementara berbicara harga-harga di Bali makin mahal? Kata dia, indikator yang bisa digunakan adalah inflasi. Dengan melihat pergerakan harga-harga di Bali dari angka inflasi, maka secara umum sebenarnya masih terkendali dan terjaga sesuai target pemerintah. Bila harga-harga masih terjaga, artinya tingkat kemahalannya tidak sebombasdis yang diperkirakan orang. Sementara bila bicara masuk ke komoditas maka beda lagi. Sebab mungkin saja di beberapa komoditas harganya meningkat. Misalnya komuditas bahan makanan beberapa bahan makanan yang menjadi penyimbang inflasi tinggi.
“Kalau kami ditanya hidup di Bali makin mahal maka tidak di Bali saja sebenarnya karena di seluruh belahan dunia tidak tertutup makin mahal karena di mana-mana terjadi inflasi juga,” paparnya. *dik