BISNISBALI.com – Bank Dunia melalui Macro Poverty Outlook pada awal April menyebutkan bahwa pada tahun 2024 lebih dari 60,3 persen penduduk Indonesia atau setara dengan 171,8 juta jiwa hidup di bawah garis kemiskinan. Di sisi lain, data resmi dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa tingkat kemiskinan Indonesia per September 2024 sebesar 8,57 persen atau sekitar 24,06 juta jiwa.

Kondisi ini menimbulkan perbedaan angka kemiskinan berdasarkan data Bank Dunia dan BPS. Terkait hal ini praktisi ekonomi yang juga Direktur Celios, Bhima Yudhistira kepada Bisnis Bali menyampaikan, garis kemiskinan Bank Dunia lebih aktual dan relevan diterapkan di Indonesia karena status Indonesia saat ini sudah menjadi negara berpendapatan menengah ke atas.

“Indonesia saat ini sudah menjadi negara berpendapatan menengah ke atas wajar garis kemiskinannya juga harus disesuaikan,” katanya.

Bhima menilai BPS harus lakukan revisi garis kemiskinan segera, seperti dilakukan oleh Malaysia tahun 2019 yang merevisi garis kemiskinannya.

Seperti diketahui sejak 2023 Indonesia masuk kategori negara berpendapatan menengah ke atas (UMIC) sehingga Bank Dunia dalam laporan berjudul Macro Poverty Outlook edisi April 2025, menggunakan standar kemiskinan di Indonesia sebesar US$6,85 (Rp113 ribu) per orang perhari. Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyimpulkan mayoritas masyarakat Indonesia sebagai penduduk miskin, dengan porsi sebesar 60,3 persen dari total 285,1 juta jiwa populasi Indonesia pada 2024

Akan tetapi, BPS dalam menetapkan standar kemiskinan sebesar Rp595.242 per orang per bulan atau hampir Rp20 ribu per orang per hari. Artinya, orang Indonesia yang belanjanya minimal Rp20 ribu per hari, disebut tidak miskin.

“Jadi pemerintah dengan 60,3% penduduk miskin versi bank dunia jangan denial, tapi harus langsung gelontorkan perlindungan sosial,” ujarnya.

Bhima menyatakan, sebelumnya, kelas menengah versi BPS tidak dapat bansos. Sekarang, kelas menengah itu sebenarnya miskin juga jadi wajib mendapatkan bansos.  Ia pun mengakui cara penghitungan BPS dengan Bank Dunia berbeda karena maunya kemiskinan tetap rendah.

Sementara itu mengutip keterangan laman BPS memuat, perbedaan muncul disebabkan adanya perbedaan standar garis kemiskinan yang digunakan dan untuk tujuan yang berbeda.

Bank Dunia memiliki 3 pendekatan atau standar garis kemiskinan untuk memantau pengentasan kemiskinan secara global dan membandingkan tingkat kemiskinan antarnegara, yaitu: international poverty line untuk menghitung tingkat kemiskinan ekstrem (US$ 2,15 per kapita per hari), US$3,65 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah bawah (lower-middle income), dan US$ 6,85 per kapita per hari untuk negara-negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income). Ketiga garis kemiskinan tersebut dinyatakan dalam US$ PPP atau purchasing power parity, yaitu metode konversi yang menyesuaikan daya beli antarnegara. Nilai dollar yang digunakan bukanlah kurs nilai tukar yang berlaku saat ini melainkan paritas daya beli. US$ 1 PPP tahun 2024 setara dengan Rp5.993,03.

Angka kemiskinan Indonesia sebesar 60,3 persen, diperoleh dari estimasi tingkat kemiskinan dengan menggunakan standar sebesar US$6,85 PPP yang disusun berdasarkan median garis kemiskinan 37 negara berpendapatan menengah atas, bukan berdasarkan kebutuhan dasar penduduk Indonesia secara spesifik.

Bank Dunia juga menyarankan agar tiap negara menghitung garis kemiskinan nasional (National Poverty Line) masing-masing yang disesuaikan dengan karakteristik serta kondisi ekonomi dan sosial masing-masing negara.

Walaupun Indonesia saat ini berada pada klasifikasi negara berpendapatan menengah atas (upper-middle income country/UMIC) dengan Gross National Income (GNI) per kapita sebesar US$4.870 pada tahun 2023, namun perlu diperhatikan bawah posisi Indonesia baru naik kelas ke kategori UMIC dan hanya sedikit di atas batas bawah kategori UMIC, yang range nilainya cukup lebar, yaitu antara US$4.516- US$14.005. Sehingga, bila standar kemiskinan global Bank Dunia diterapkan, akan menghasilkan jumlah penduduk miskin yang cukup tinggi.

BPS mengukur kemiskinan di Indonesia dengan pendekatan kebutuhan dasar atau Cost of Basic Needs (CBN). Jumlah rupiah minimum yang diperlukan untuk memenuhi kebutuhan dasar ini dinyatakan dalam Garis Kemiskinan.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan pengeluaran minimum untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan. Komponen makanan didasarkan pada standar konsumsi minimal 2.100 kilokalori per orang per hari, disusun dari komoditas umum seperti beras, telur, tahu, tempe, minyak goreng, dan sayur, sesuai pola konsumsi rumah tangga Indonesia. Komponen non-makanan mencakup kebutuhan minimum untuk tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, pakaian, dan transportasi.

Garis kemiskinan dihitung berdasarkan hasil pendataan Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang memotret atau mengumpulkan data tentang pengeluaran serta pola konsumsi masyarakat. Susenas dilaksanakan 2 kali dalam setahun.

Tahun 2024, Susenas dilaksanakan pada bulan Maret dengan cakupan 345.000 rumah tangga di seluruh Indonesia, dan pada September dengan cakupan 76.310 rumah tangga. Pengukuran dilakukan pada tingkat rumah tangga, bukan individu, karena pengeluaran dan konsumsi dalam kehidupan nyata umumnya terjadi secara kolektif.

Oleh karenanya, garis kemiskinan yang dihitung oleh BPS dapat mencerminkan kebutuhan riil masyarakat Indonesia. Penghitungan serta rilis angka garis kemiskinan BPS dilakukan secara rinci berdasarkan wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota, dengan membedakan antara perkotaan dan perdesaan. Pada September 2024, garis kemiskinan nasional per kapita tercatat Rp595.242 per bulan.

Namun, perlu diperhatikan, konsumsi terjadi dalam konteks rumah tangga, bukan per orang. Rata-rata rumah tangga miskin terdiri dari 4,71 anggota rumah tangga, sehingga garis kemiskinan untuk satu rumah tangga secara rata-rata nasional adalah Rp2.803.590 per bulan. Garis kemiskinan berbeda untuk setiap provinsi, sebab garis kemiskinan dan rata-rata anggota rumah tangga miskin untuk setiap provinsi berbeda.

Sebagai contoh, garis kemiskinan rumah tangga di DKI Jakarta mencapai Rp4.238.886, di Nusa Tenggara Timur (NTT) sebesar Rp3.102.215, dan di Lampung sebesar Rp2.821.375. Perbedaan ini mencerminkan perbedaan tingkat harga, standar hidup, dan pola konsumsi di setiap daerah.*dik