BISNISBALI.com – Pengamat Ekonomi, Kependudukan, dan Ketenagakerjaan, Dr. I Gusti Wayan Murjana Yasa, S.E., M.Si. menyatakan, polemik tentang standar hidup layak terjadi ketika Bank Dunia merilis rata-rata standar Hidup layak secara internasional setara dolar sebesar $6.85 per kapita perhari.

Dampaknya, ketika angka tersebut ditelan mentah-mentah apalagi kemudian dikalikan dengan kurs pasar dan dipakai sebagai dasar penentu orang hidup layak dan tidak hidup layak (miskin) dan diinterpretasikan untuk jumlah penduduk miskin di Indonesia, tentu akan sangat menyesatkan.

Menanggapi polemik tersebut, Badan Pusat Statistik sudah melakukan upaya-upaya pelurusan pola pikir berkaitan dengan pengukuran standar hidup layak di berbagai daerah di Indonesia, agar terdapat kesamaan pemahaman dan cara pandang, yang diharapkan juga memunculkan kesamaan dan kebersamaan pola tindak.

Ia yang juga Ketua Koalisi Kependudukan Indonesia (KKI) Provinsi Bali ini mengatakan, secara ekonomi,  seseorang dikatakan sudah hidup layak apabila orang tersebut memiliki cukup pendapatan dan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka.

Kebutuhan dasar tersebut meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal, pendidikan, dan kesehatan serta memungkinkan seseorang untuk hidup dengan layak tanpa mengalami kesulitan yang signifikan.

“Hidup layak juga mencakup kemampuan untuk mengakses kebutuhan lainnya seperti transportasi, hiburan dan layanan sosial,” terangnya.

Bagaimana penghitungan standar hidup layak?. Wayan Murjana Yasa menyatakan, seseorang yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, dapat dikatakan sudah dapat memenuhi standar hidup layak. Mereka dikatagorikan sebagai penduduk tidak miskin.

“Sebaliknya, mereka yang tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar sesuai standar tertentu dikatagorikan sebagai penduduik miskin. Karenanya, kata layak menjadi merupakan ‘kata bertuah’ karena digunakan menentukan seseorang miskin atau tidak miskin,” jelasnya.

Itulah logikanya mengapa kemudian dalam menentukan seseorang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar secara layak atau belum layak digunakan pendeklatan garis kemiskinan.

Dalam menghitung garis kemiskinan, Badan Pusat Statistik menggunakan pendekatan kebutuhan dasar yang mencakup, pertama, kebutuhan makanan, cukup energi setara 2.100 kkal  perkapita/hari. Kebutuhan makanan ini meliputi 52  jenis komoditas, seperti beras, sayur dan lainnya.

Kedua, kebutuhan non-makanan, seperti tempat tinggal, listrik, pendidikan, dan kesehatan. Komoditas kebutuhan non-makanan ini mencakup 47-51 jenis komoditas tergantung pada wilayahnya.
Garis kemiskinan dihitung perkapita perbulan dan disesuaikan untuk tiap provinsi, kabupaten/kota  berdasarkan harga dan pola konsumsi lokal.

“Itulah sebabnya mengapa garis kemiskinan di masing-masing kabupaten/kota serta termasuk Provinsi Bali memungkinkan berbeda dengan kabupaten/kota dan provinsi lauinnya di Indonesia,” paparnya.

Untuk Kota Denpasar misalnya, dalam hal kebutuhan dasar untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, pada tahun 2024 seseorang di Kota Denpasar harus memiliki pendapatan minimal sebesar Rp820.512 per kapita per bulan agar tidak dianggap miskin. Garis kemiskinan di Kota Denpasar ini berbeda dengan misalnya di Kabupaten Bangli, agar seseorang tidak dikatagorikan miskin hraus memiliki pendapatan sebesdar Rp 465.572 perkapita perbulan,

“Kalau kita ingin melihat standar hidup layak masyarakat Bali, tentu kita harus membandingkannya dengan standar hidup masyarakat provinsi lainnya di Indonesia,” ungkapnya.

Sebagai contoh, seseorang di DKI Jakarta dikatakan dapat memenuhi kebutuhan standar hidup layak pada tahun   2024 apabila memiliki pendapatan minimal sebesar Rp 846.085 perkapita perbulan, sedangkan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup standar layak di Provinsi Bali diperlukan Rp 565.510 perkapita perbulan.*dik