BISNISBALI.com – Biaya hidup masyarakat yang mahal dapat saja berdampak signifikan terhadap peningkatan permintaan kredit di lembaga jasa keuangan seperti perbankan. Kenaikan harga kebutuhan pokok dan biaya lainnya membuat banyak individu dan rumah tangga (RT) mencari solusi pembiayaan melalui kredit untuk memenuhi kebutuhan konsumsi dan modal usaha.
“Hal ini terlihat dari meningkatnya pengajuan kredit konsumsi dan kredit UMKM,” kata pemerhati ekonomi Prof. Dr. IB Raka Suardana di Denpasar, Jumat (16/5).
Ia yang juga DEkan FEB Undiknas University ini menerangkan jenis kredit yang mengalami permintaan tinggi dari data yang ada meliputi kredit konsumsi, seperti kredit tanpa agunan (KTA) dan kredit multiguna, serta kredit UMKM.
“Kredit konsumsi digunakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sementara kredit UMKM dimanfaatkan oleh pelaku usaha kecil untuk modal kerja dan pengembangan usaha,” ujarnya.
Selain itu, produk kredit seperti Buy Now Pay Later (BNPL) juga menunjukkan pertumbuhan signifikan, dengan peningkatan baki debet sebesar 47,92% year-on-year per Oktober 2024, mencapai Rp21,25 triliun.
Prof. Raka Suardana menjelaskan, meskipun permintaan kredit meningkat, tampaknya rasio kredit bermasalah atau Non-Performing Loan (NPL) perbankan tetap terjaga. Data OJK menunjukkan bahwa Desember 2024, NPL gross berada di level 2,20%, sementara NPL net stabil di 0,77%. Namun, sektor kredit RT mengalami sedikit peningkatan NPL, mencapai 2,17% pada Januari 2025 dari 2,02% pada Desember 2024.
Untuk mengantisipasi potensi peningkatan NPL, perbankan seyogyanya menerapkan berbagai strategi, termasuk pengetatan analisis kredit, edukasi debitur, penyediaan asuransi kredit, dan program restrukturisasi.
“Beberapa waktu lalu, OJK juga mengimbau perbankan untuk membentuk Cadangan Kerugian Penurunan Nilai (CKPN) sebagai langkah mitigasi risiko kredit,” ucapnya.
Sebelumnya OJK Bali menyatakan kualitas kredit perbankan di Bali dan Nusa Tenggara pada Februari 2025 tetap terjaga di bawah threshold (5 persen) dengan Non Performing Loan (NPL) gross sebesar 3,09 persen sedikit lebih tinggi dibandingkan posisi Februari 2024 yang sebesar 2,51 persen.
Kepala OJK Bali, Kristrianti Puji Rahayu menegaskan ke depan, tetap perlu diperhatikan risiko perbankan utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas terkait sentimen suku bunga global yang masih tetap tinggi, serta potensi peningkatan risiko kredit pasca berakhirnya masa relaksasi kredit restrukturisasi terkait Covid-19 pada akhir Maret 2024. Untuk itu perbankan diminta meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN dan PPAP secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko.
Berdasarkan data pertumbuhan kredit terutama disumbangkan oleh peningkatan nominal penyaluran di Sektor Penerima Kredit Bukan Lapangan Usaha yang bertambah sebesar Rp7,3 triliun (tumbuh 8,09 persen yoy), Penyediaan Akomodasi dan makan minum sebesar Rp1,6 triliun (tumbuh 11,63 persen yoy), serta Pertanian, perburuan dan kehutanan sebesar Rp931 miliar (tumbuh 6,93 persen yoy).
Berdasarkan kategori debitur, sebesar 43,21 persen kredit di Bali dan Nusa Tenggara disalurkan kepada UMKM dengan pertumbuhan sebesar 3,32 persen yoy (Februari 2024: 10,52 persen yoy). Tingginya penyaluran kredit perbankan kepada UMKM menunjukkan keberpihakan bank untuk mendukung pertumbuhan ekonomi daerah.*dik