BISNISBALI.com – Upaya pengendalian inflasi tak cukup hanya mengandalkan operasi pasar atau intervensi harga jangka pendek. Transformasi pola konsumsi masyarakat dinilai menjadi strategi jangka panjang yang tak kalah penting dalam meredam gejolak harga pangan. Deputi Bidang Penganekaragaman Konsumsi dan Keamanan Pangan, Badan Pangan Nasional (Bapanas) Andriko Noto Susanto menjelaskan, penguatan konsumsi pangan lokal menjadi salah satu pendekatan berkelanjutan yang mampu menahan tekanan inflasi, terutama dari kelompok komoditas pangan bergejolak (volatile food). “Kita tidak bisa hanya mengandalkan pasar diguyur. Masyarakat harus punya akses dan preferensi terhadap pangan yang beragam dan terjangkau,” ujarnya dalam keterangannya dilansir dari laman resmi, Rabu (7/5).

Langkah tersebut, menurut Andriko, sejalan dengan Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 2025 yang mendorong kepala daerah untuk memperkuat ketahanan pangan di wilayah masing-masing, termasuk melalui diversifikasi konsumsi dan produksi pangan lokal.

Data Badan Pusat Statistik menunjukkan konsumsi beras Indonesia masih tinggi, mencapai 90,6 kilogram per kapita per tahun. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan Malaysia (78,2 kg), Jepang (50,8 kg), maupun Korea Selatan (53,5 kg). Sebaliknya, konsumsi umbi-umbian yang kaya karbohidrat justru masih sangat rendah, hanya 3,26 kilogram per kapita per tahun berdasarkan Survei Sosial Ekonomi Nasional 2022.

“Kondisi ini menunjukkan bahwa pilihan pangan masyarakat masih sangat sempit. Padahal, kita punya potensi besar di pangan lokal seperti jagung, sagu, sorgum, dan talas,” tambah Andriko.

Sebagai bentuk intervensi Bapanas menjalankan program Desa B2SA (Beragam, Bergizi Seimbang, dan Aman) yang menyasar rumah tangga di tingkat desa untuk mengubah pola konsumsi. Program ini telah menjangkau 800 titik lokasi pada tahun 2025.

Melalui pendampingan, pelatihan, dan penyuluhan berbasis pangan lokal, Bapanas mendorong masyarakat untuk mengolah dan mengonsumsi bahan pangan sesuai potensi daerah masing-masing.

“Kita tidak bicara pengganti beras, tapi penyanding beras. Ada banyak sumber karbohidrat dan gizi yang bisa dimaksimalkan,” ucap Andriko.

Di saat bersamaan, Bapanas juga memperkuat sinergi lintas sektor dengan TP PKK, pemerintah daerah, pelaku UMKM, dan perguruan tinggi untuk memperluas kampanye pangan lokal, baik secara luring maupun melalui media sosial.

“Diversifikasi konsumsi harus berjalan seiring dengan diversifikasi produksi. Tidak bisa hanya mengubah selera, tapi juga memastikan pasokannya ada,” ujar Andriko.

Menurutnya, stabilitas harga pangan yang berkelanjutan sangat bergantung pada bagaimana masyarakat diberi ruang untuk memilih dan membentuk budaya konsumsi yang baru. “Kalau hanya mengandalkan intervensi pasar, inflasi akan terus berulang. Tapi kalau pola konsumsi masyarakat berubah, ketahanan pangan kita akan jauh lebih kokoh,” kata Andriko.

Hal ini selaras dengan pernyataan Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi, diversifikasi pangan menjadi komponen penting dalam kerangka membangun ketahanan pangan yang mandiri dan berdaulat, “Jadi selain intensifikasi dan ekstensifikasi,  diversifikasi pangan juga harus terus didorong oleh semua pihak dalam kerangka mewujudkan swasembada pangan berkelanjutan, yang berbasis pada kemandirian dan kedaulatan pangan,” ujar Arief. *rah