BISNISBALI.com – Menjelang Hari Buruh atau May Day, pengamat ekonomi dari Celios, Bhima Yudhistira kepada Bisnis Bali, Selasa (29/4) menyampaikan, ada beberapa hal yang mendapatkan perhatiannya.

Seperti upah riil mengalami penurunan tajam dan pertumbuhannya lebih rendah dibanding pra-pandemi.

“Penyebab utama karena formulasi upah dalam UU Cipta Kerja terlalu rendah dibandingkan kenaikan pengeluaran yang ditanggung,” katanya.

Artinya, buruh harus bertahan hidup dengan berhemat, meminjam uang atau menggadaikan asetnya (rumah, kendaraan bermotor dan lainnya). Upah riil yang terlalu rendah juga sebabkan pertumbuhan ekonomi melambat.

Kemudian Bhima melihat, adanya diskriminasi usia masih terjadi pada pelamar kerja. Lowongan kerja membatasi usia pelamar 25-31 tahun menyebabkan sulitnya para korban PHK kembali bekerja di sektor formal. Regulasi di Indonesia dianggap membiarkan perusahaan melakukan diskriminasi, berbeda dengan negara Asean lain seperti di Thailand dan Vietnam yang menerapkan peraturan anti-diskriminasi usia pelamar kerja.

“Harapannya revisi UU Ketenagakerjaan dapat mengakomodir pasal spesifik soal anti-diskriminasi usia pelamar kerja,” terangnya.

Bhima juga menilai pekerja tetap banyak di PHK, sementara perusahaan cenderung menggantikan pekerja tetap dengan magang, outsourcing dan pekerja kontrak. Perusahaan beralasan menekan biaya tenaga kerja, namun sebenarnya sebagian perusahaan menghindar dari tanggung jawab hak pekerja tetap.

“Situasi ini juga mengkonfirmasi bahwa perekonomian sedang memburuk sehingga perusahaan terus menurunkan jumlah pekerja tetapnya,” jelasnya.

Belum lagi, banyak perusahaan tidak membayar pesangon dan sisa gaji para karyawan yang di PHK. Lemahnya pendataan tenaga kerja dan penegakan sanksi bagi perusahaan jadi masalah utama. Satgas PHK diharapkan melakukan pendataan para korban PHK baik sektor formal dan informal secara akurat. Data tersebut dapat dijadikan landasan untuk pemenuhan hak korban PHK.

Bhima menyoroti makin masifnya pekerja yang terlibat di sektor informal gig-economy seperti ojol dan kurir karena keterbatasan lapangan kerja di sektor formal. Sekitar 58% pekerjaan di Indonesia adalah sektor informal, menimbulkan kerentanan kerja, tidak adanya jenjang karier dan jam kerja yang terlalu tinggi.

“Persaingan tenaga kerja makin ketat dan belum ada solusi riil dari pemerintah,” terangnya.

Keberadaan Danantara masih belum terlihat mampu memecahkan masalah sempitnya lapangan kerja di sektor formal. Belum ada paket kebijakan yang dikeluarkan untuk meredam gejolak PHK. Sementara Satgas PHK tidak bersifat preventif.

Pengangguran usia muda di Indonesia berumur 15-24 tahun mencapai 17,3%, tertinggi di Asean. Sementara angkatan kerja baru bertambah 4,4 juta orang sepanjang 2024.

“Angkatan kerja baru ini bersaing dengan para korban PHK,” imbuhnya.

Efek perang dagang AS, menurutnya, menciptakan risiko bertambahnya jumlah PHK di sektor padat karya. Hasil modelling Celios menghitung penurunan output ekonomi karena tarif resiprokal hingga Rp164 triliun, sementara lapangan kerja turun 1,2 juta orang tahun 2025.*dik