“Keberadaan akomodasi ilegal ini juga berpotensi pada perang tarif.”
BISNISBALI.com – Banyaknya wisatawan yang memilih menginap di akomodasi tak berizin membuat tingkat hunian atau okupansi kamar hotel di Bali menurun. Bagi akomodasi legal kondisi ini memberi kerugian. Demikian bagi pemerintah daerah berdampak pada kehilangan potensi pajak hotel dan restoran (PHR).
Sekjen Pengusaha Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Bali Ferry Markus saat diwawancarai, Selasa (29/4) mengatakan, untuk akomodasi atau hotel yang sudah mempunyai legalitas resmi pasti merasa sangat dirugikan dengan akomodasi yang tidak mempunyai legalitas atau ilegal. Pihaknya mengakui saat ini ada penurunan okupansi di tengah meningkatnya kunjungan wisatawan ke Bali. Penurunan okupansi terjadi sekitar 10-20 persen dari awal tahun 2025.
“Kita melihat sekarang data yang ada itu bahwa tingkat hunian memang turun dibandingkan dengan kedatangan, khususnya wisatawan asing. Ternyata wisatawan ini menginap di akomodasi yang tidak memiliki ijin (pariwisata),” jelasnya.
Menurutnya akomodasi ini awalnya merupakan bangunan perumahan yang memiliki izin untuk tempat tinggal. Lalu perumahan tersebut lambat laun dialihfungsikan menjadi akomodasi pariwisata seperti homestay, villa dan sebagainya.
Selain berdampak pada menurunnya okupansi di akomodasi legal, keberadaan akomodasi ilegal ini juga berpotensi pada perang tarif. Dia menjelaskan, dengan turunnya okupansi hotel berbintang, membuat mode bertahan hidup diberlakukan sehingga ada penurunan harga. Dengan harga hotel berbintang turun, hotel non bintang, melati dan lainnya juga ikut turun. Kondisi ini akan membuat nilai jual akomodasi pariwisata di Bali semakin terhimpit.
Sebelumnya, Ketua PHRI Bali Tjokcorda Oka Artha Ardhana Sukawati (Cok Ace) juga menyebutkan dugaan terjadi kebocoran okupansi dikarenakan adanya villa-villa liar yang tidak berijin di Bali. Bahkan parahnya ada kemungkinan villa ini dikelola oleh orang asing. Pangsa pasarnya pun tidak terfokus dengan mengambil semua zegmen atau semua negara. Tidak spesifik pasar tertentu sehingga menjadi persaingan dengan akomodasi yang berizin.
Dia juga menyoroti dengan kebijakan investiasi asing yang minimal hanya Rp10 miliar. “Karena melihat tentang investasi di Indonesia termasuk Bali dan besarnya jaminan second home visa terlalu murah sekali untuk ukuran Bali. Mungkin itulah pendorongnya kenapa orang asing berlomba lomba berinvestasi di Bali yg pada akhirnya menyebabkan turunnya okupansi hotel,” katanya. *wid