Denpasar (bisnisbali.com) –Pengamat perbankan Nyoman Sender mengestimasikan selama triwulan I/2025, dunia perbankan khususnya BPR di Bali cukup memprihatinkan. Terlebih lagi, kebijakan tarif impor Donald Trump yang kondisinya memperparah prospek perbankan (bank umum, BPR) ke depannya secara umum, termasuk di Bali khususnya.
“Risiko ekonomi global masih membayangi dengan adanya perang dagang akibat dipicu oleh kebijakan tarif dari presiden Trump terakhir ini. Belum lagi perang Ukrain vs Rusia dan perang tanpa henti di Timur Tengah antara Istael vs Hamas, Hezbollah dan lainnya,” katanya.
Perbankan tengah dihadapkan pada perebutan likuiditas di pasar. Kondisi ini menyebabkan beban bunga tetap tinggi meskipun suku bunga acuan telah turun. Situasi di atas, kata Sender yang juga Komut BPR Penebel ini, sudah pasti mempengaruhi perdagangan global antarnegara utamanya negara-negara yang porsi perdagangan internasionalnya cukup dominan.
“Jadi risiko perang, baik perang militeristik maupun perang dagang sudah dapat dipastikan akan mempengaruhi kondisi ekonomi finansial beberapa negara yang aktif dalam perdagangan dunia,” terangnya.
Alokasi sumber daya ke sektor alat-alat perang mengurangi budget untuk kegiatan ekonomi yang berkaitan dengan kesejahteraan masyarakat. Tarif tinggi juga mendorong ekonomi biaya tinggi, mempersempit perkembangan sektor riil negara-negara yang dominan ekspornya ke AS.
Apa upaya bank menghadapi sentimen global dan nasional di tengah kebijakan Trump?. Nyoman Sender mengatakan, perbankan akan menyarankan nasabah eksportirnya untuk mencari pasar di luar Amerika seperti ke Eropa dan negara-negara lainnya serta memanfaatkan pasar domestik dan pasar regional ASEAN dan Asia lain terutama China.
Ia menambahkan, satu hal yang perlu dicermati atas kebijakan tarif Trump ini adalah kemungkinan ada perubahan mengingat lobi-lobi beberapa negara, termasuk RI. “Mudah-mudahanan saja ada respon positip dari AS,” imbuhnya.
Begitupula terkait kebijakan kredit BPR sepanjang triwulan I/2025 khusus di Bali memang ada kenaikan, kurang lebih 3,5 persen sampai 5 persen dan cendrung stagnan. Market share kredit di Bali relatif terbatas di tengah persaingan yang sangat ketat antarperbankan. terlebih ada kebijakan efisiensi dari pemerintah pusat, dan di daerah tentu juga akan mengikutinya. Kondisi tersebut mempersulit dunia perbankan terutama yang bergerak di sektor pariwisata dan bisnis-bisnis yang berkaitan dengan pariwisata.
“Perbankan harus kreatif mencari sektor-sektor lain yang bisa dibiayai seperti perdagangan, jasa, pertanian dalam arti luas,” tegas Nyoman Sender yang juga Komisaris di BPR Kertiawan.
Sebelumnya Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan perbankan untuk tetap memperhatikan beberapa risiko ke depan, utamanya risiko pasar dan dampaknya pada risiko likuiditas terkait sentimen suku bunga global yang masih tetap tinggi. Termasuk, potensi peningkatan risiko kredit pasca berakhirnya masa relaksasi kredit restrukturisasi terkait Covid-19 pada akhir Maret 2024.
Untuk itu perbankan diminta meningkatkan daya tahannya melalui penguatan permodalan dan menjaga coverage CKPN dan PPAP secara memadai, serta secara rutin melakukan stress test untuk mengukur kemampuan permodalannya dalam menyerap potensi risiko.
Kepala OJK Provinsi Bali Kristrianti Puji Rahayu di Denpasar menilai kinerja Industri Jasa Keuangan (IJK) di Provinsi Bali dan Nusa Tenggara posisi Februari 2025 tetap resilien dan terjaga stabil didukung oleh permodalan yang kuat, kondisi likuiditas yang memadai, dan profil risiko yang terjaga.
Data sektor perbankan Provinsi Bali dan Nusa Tenggara posisi Februari 2025 menunjukkan penyaluran kredit maupun penghimpunan dana pihak ketiga (DPK) mengalami pertumbuhan dari periode sebelumnya.*dik