BISNISBALI.com – Kenaikan harga biji kakao yang mencetak rekor tertinggi dalam 30 tahun terakhir membawa angin segar bagi petani, tapi menjadi tantangan tersendiri bagi eksportir coklat olahan. Terlebih, pasar Amerika Serikat (AS) kini dinilai kurang menarik akibat kebijakan dagang yang dinilai memberatkan eksportir lokal.
Harga kakao kualitas fermentasi saat ini tembus di kisaran Rp130.000 hingga Rp150.000 per kilogram di tingkat petani. Lonjakan ini dipicu oleh menurunnya produksi global, khususnya dari dua negara produsen utama. Yakni, Pantai Gading dan Ghana yang beralih menanam sawit. Akibatnya, pasokan biji kakao dunia menyusut dan harga melambung.
CEO PT Cau Coklat, Kadek Surya Prasetya Wiguna, mengungkapkan bahwa ekspor coklat olahan dari perusahaannya selama ini hanya sebesar 5–10 persen dari total produksi. Sebagian besar ditujukan ke pasar domestik di dalam negeri. Selanjutnya Australia, Malaysia dan Singapura. Sementara sebagian kecil tertuju pada pasar Amerika Serikat.
Namun, kebijakan tarif impor sebesar 32 persen yang diterapkan AS membuat pangsa pasar ekspor ke negara tersebut tidak lagi menguntungkan.“Dengan beban tarif sebesar itu, harga produk kita menjadi tidak bersaing. Otomatis, kami akan hentikan dulu ekspor ke Amerika Serikat dan alihkan ke negara lain,” ujarnya, Senin (7/4).
Beruntung, Cau Coklat lebih mengandalkan pasar domestik, yang menurutnya memiliki daya serap tinggi dan mampu menampung sebagian besar produksi. Meski ekspor ke AS distop, permintaan coklat olahan di dalam negeri masih sangat tinggi dan turut mendorong stabilnya harga produk.
Di sisi lain, tren naiknya harga kakao ini juga mendorong geliat petani di Bali. Katanya, di beberapa sentra produksi seperti Tabanan, petani mulai melakukan peremajaan tanaman kakao. Potensi keuntungan yang tinggi mencapai Rp 150 juta hingga Rp 200 juta per hektar per tahun menjadi daya tarik tersendiri.
Pihaknya mendorong agar produksi biji kakao di Bali agar lebih meningkat, karena produksi kakao di Bali kualitasnya sangat baik dan hingga kini masing sangat kekurangan biji kakao untuk memenuhi kebutuhan pasar selama ini.
“Produksi kakao Bali sangat berkualitas, tapi pasokannya masih jauh dari cukup. Karena itu kami terus dorong peningkatan produksi lokal,” ujar Kadek Surya.
Sementara itu data dari Dinas Pertanian pada Bidang Perkebunan Kabupaten Tabanan mencatat, pada triwulan Iv 2024 total luas sentra produksi kakao di daerah lumbung pangan Bali ini sebanyak 4.530 are dengan jumlah produksi mencapai 937,19 ton. Capaian tersebut salah satunya disumbang Kecamatan Selemadeg Barat yang memiliki produksi tertinggi di Tabanan yaitu 1.303 ton dari luas tanam 1.302 hektar dengan produktivitasnya mencapai 311 kg per hektar per tahun.*man