BISNISBALI.com – Kebijakan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengenakan tarif impor kepada mitra dagangnya berdampak secara tidak langsung kepada ekportir Bali. Berdasarkan data BPS Bali ekspor Bali ke Amerika pada Januari 2025 mencapai 16.843.690 dolar AS atau ada kenaikan 17,81 persen year on year (yoy) dibandingkan Januari 2024. Sedangkan pertumbuhan data Desember 2024 dengan Januari 2025 mengalami pertumbuhan 16,19 persen.
Ketua Asosiasi Eksportir dan Produsen Handycraft Indonesia (Asephi) Bali, Ketut Dharma Siadja, Senin (7/4) menyampaikan, kebijakan Trump sebagai bentuk perang dagang yang sesungguhnya. Para eksportir sebenarnya sudah memprediksi arah kebijakan-kebijakan ketika terpilih sebagai Presiden AS.
Ia menilai perang zaman sekarang bukan hanya senjata, tapi juga tarif dan perdagangan. Ketika satu negara menghambat negara lain, maka negara tersebut pasti akan membalas.
Karenanya, tidak menutup kemungkinan tarif bea masuk 32 persen ini berpengaruh terhadap nilai jual barang, terlebih dengan turunnya kurs rupiah dari dolar AS, yang dapat membuat harga barang dari Indonesia menjadi lebih murah di pasaran AS.
Ia menilai ada peluang terjadi penurunan permintaan ke depannya, karena pembeli-pembeli di AS juga takut barang-barang yang diimpor akan lebih mahal tiba di sana.
“Berbicara kerugian, kami belum bisa prediksi berapa persen,” ucapnya.
Ia yang juga Ketua GPEI Bali ini mengatakan, para pembeli di AS masih menganalisis setiap barang yang diekspor dari Bali dengan menghitung tarif bea masuk setiap barangnya. Untuk komoditasnya, yakni kerajinan kayu, emas, perak, rotan, ikan, vanili, garmen itu yang mendominasi.
Bagaimana mengantisipasi efek dari penetapan bea masuk 32 persen tersebut?. Darma Siadja menegaskan, Asephi Bali akan melakukan langkah cepat dengan mencari alternatif pasar baru yang lebih menguntungkan dan tentunya barang yang diekspor juga sesuai selera. Pasar yang potensial dan cepat tentunya negara-negara di benua Eropa. Alasannya, Eropa paling masuk akal untuk saat ini karena penduduk banyak dan banyak negara maju sesuai dengan selera komoditas. Sedangkan untuk negara-negara di Timur Tengah masih terbatas karena tidak sesuai selera pasar.
Terkait besaran tarif 32 persen?. Dharma Siadja menerangkanbesaran tarif diperkirakan tidak semuanya rata. Bisa saja komoditas seperti kayu mungkin tarifnya lebih rendah, sementara rotan, metal, atau produk perkebunan bisa lebih tinggi.
Bali sendiri dikenal sebagai penghasil berbagai komoditas ekspor unggulan seperti kerajinan kayu, perak, furnitur, bambu, kerang, produk perikanan, vanili, dan hasil perkebunan lainnya.
Menurut Dharma, kebijakan ini tidak lepas dari dinamika hubungan dagang kedua negara. Sebelumnya, Indonesia juga telah memberlakukan tarif yang cukup tinggi terhadap produk-produk AS. Selain itu, dia juga mengharapkan agar pemerintah bisa mengantisipasi dan membuat kebijakan dengan baik, sehingga menjadi kesempatan meningkatkan barang-batang dari Bali masuk ke pasar global.*dik