BISNISBALI.com – Kebijakan baru Amerika Serikat (AS) yang menerapkan tarif bea masuk sebesar 32 persen terhadap berbagai produk impor membuat sejumlah eksportir hortikultura Bali was-was. Meskipun produk hortikultura dari Bali seperti manggis, durian, dan salak, tak diekspor ke Amerika, para pelaku usaha menilai aturan ini dapat memicu efek domino yang berdampak secara tidak langsung terhadap pasar global termasuk Indonesia.

Owner PT Raja Manggis Bali yang merupakan eksportir manggis dari Desa Padangan, Kecamatan Pupuan, Tabanan, Jero Putu Tesan, mengungkapkan bahwa kekhawatiran ini muncul karena kebijakan perdagangan negara adikuasa seperti Amerika Serikat berpotensi diikuti oleh negara-negara lain.

“Komoditas hortikultura di bidang saya memang tidak pernah masuk ke pasar Amerika, tetapi kebijakan ini bisa menggoyang stabilitas pasar ekspor secara global,” ujar Tesan, Minggu (6/4).

Ia menjelaskan, pasar utama bagi manggis dan buah lokal lainnya saat ini adalah Tiongkok, yang menyerap hampir 80 persen dari total hasil panen petani lokal. Selama ini, Tiongkok menjadi mitra dagang utama dalam ekspor hortikultura Bali.

Namun, jika negara tersebut juga mengambil langkah serupa seperti Amerika, misalnya dengan menerapkan bea masuk yang tinggi, maka dampaknya akan sangat terasa bagi para eksportir dan petani.

“Kalau Tiongkok menaikkan tarif, barulah kami akan terdampak langsung. Dan itu akan memukul rantai pasok dari hulu ke hilir,” pungkasnya.

Menurutnya yang juga Ketua Asosiasi Eksportir Manggis dan Rumah Kemasan Indonesia, kebijakan proteksionis seperti ini bisa menimbulkan efek berantai yang serius. Bila negara-negara lain merespon dengan kebijakan serupa, eksportir akan terpaksa menekan biaya produksi yang pada akhirnya berdampak pada harga beli dari petani.

BACA JUGA  Rekonstruksi Monumen Puputan Badung Telan Dana Rp11 M

“Yang jadi korban nanti petani kita, padahal saat ini pertanian sedang berkembang dengan masuknya teknologi dan minat pengusaha muda di sektor ini,” kilahnya.

Oleh karena itu, ia berharap pemerintah Indonesia segera mengambil langkah antisipatif dengan memperkuat hubungan dagang bilateral, khususnya dengan negara-negara yang selama ini menjadi pasar utama produk hortikultura Indonesia. Selain itu, perlu ada upaya untuk membuka pasar baru dan memberikan insentif bagi pelaku ekspor agar bisa bertahan di tengah dinamika global yang tidak menentu.

“Mudah-mudahan pemerintah sigap, karena meski tidak terdampak langsung, gejolak seperti ini bisa berdampak besar jika dibiarkan,” tandasnya.

Hal senada juga diungkapkan pengusaha ekspor PT., Raja Buah Bali di Banjar Dinas Anggasari Kaja, Desa Munduk Temu, Kecamatan Pupuan, I Kadek Ogi Darmawan. Kata dia, selama ini pangsa pasar untuk pemasaran hasil pertanian seperti, salak dan manggis belum ada yang diekspor ke Negara Amerika Serikat, mengingat syarat untuk bisa menembus pangsa pasar tersebut sangat ketat.

Sehingga sebagian besar ekspor menyasar Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Bercermin dari itu, maka untuk ekspor hortikultura tidak terdampak dari kebijakan tarik dagang yang diberlakukan oleh Amerika Serikat.

”Meski begitu kami merasa was-was ketika kebijakan yang sama diikuti juga oleh negara lainnya. Apalagi negara seperti Tiongkok, Vietnam dan Thailand. Sebab itu kami berharap pemerintah bisa melakukan antisipasi dampak kebijakan tersebut,” harapnya yang juga merupakan Young Ambassador Agriculture 2024 Kementan RI. *man