BISNISBALI.com – Presiden Donald Trump menerapkan tarif reciprocal yang berlaku bagi lebih kurang 180 negara termasuk Indonesia yang kena tarif 32 persen. Pengamat ekonomi dari FEB Unud, Putu Krisna Adwitya Sanjaya, S.E., M.Si. di Denpasar, Jumat (4/4) menyampaikan, keadaan ini tentu memberikan dampak terhadap perekonomian Indonesia mengingat Amerika Serikat (AS) adalah pangsa pasar terbesar Indonesia kedua setelah Cina.
“Dampak besar tentu terutama bagi eksportir terlebih lagi bagi komoditas atau produk yang selama ini kita lihat punya competitiveness dengan produk-produk dari Amerika sendiri. Seperti misalnya produk pertanian, holtikutira, produk electronik, besi, baja, bahan kimia dan produk produk lainnya,” katanya.
Menurutnya, tarif yang dikenakan AS kepada Indonesia ini pasti akan meningkatkan biaya ekspor bagi produsen dan eksportir di Indonesia. Hal itu bisa saja mengakibatkan terjadinya atau mengurangi daya saing produk Indonesia di pasar AS. Penurunan akibat daya saing akibat kenaikan tarif tersebut bisa berujung pada penurunan ekspor Indonesia ke AS.
Selain itu, kenaikan tarif reciprocal tersebut bisa juga berpotensi menyebabkan tekanan terhadap neraca perdagangan yang secara langsung bisa mempengaruhi nilai tukar rupiah.
“Jadi salah satu strategi harus mencari pangsa pasar baru sebagai alternatif yang potensial. Misal ke Eropa, Amerika latin, timur tengah maupun ke Asia sendiri dan juga perlu mempercepat upaya pengalihan ke pasar domestik dan juga diversified pasar maupun produk komoditas ekspor,” jelasnya.
Sementara itu pengamat ekonomi dari Undiknas Denpasar, Prof. Dr. IB Raka Suardana menyampaikan, AS telah menetapkan tarif impor sebesar 32 persen untuk barang yang berasal dari Indonesia, angka yg lebih tinggi dibandingkan beberapa negara lain seperti Malaysia yang hanya dikenakan tarif 24 persen atau Singapura yang hanya 10 persen. Kebijakan itu tentu memberikan tantangan besar bagi para eksportir Indonesia yang selama ini menjadikan AS sebagai pasar utama.
Kenaikan tarif yang lebih tinggi dapat berakibat pada meningkaatnya harga jual produk Indonesia di pasar AS, yang pada akhirnya berpotensi menurunkan daya saing dibandingkan produk dari negara lain yang dikenakan tarif lebih rendah.
Prof. Raka menilai, pengenaan tarif sebesar 32 persen ini diduga berkaitan dgn kebijakan perdagangan AS yang bertujuan untuk melindungi industri dalam negerinya serta mengurangi defisit perdagangan dengan beberapa negara, termasuk Indonesia.
Selain itu, faktor geopolitik dan perubahan strategi perdagangan AS terhadap negara berkembang juga dapat menjadi alasan utama di balik kebijakan ini, termasuk kemungkinan karena Indonesia menjadi anggota BRICS.*dik