Ancam Perlemahan Daya Beli Hingga Ekonomi Bali
BISNISBALI.com – Sektor informal di Bali masih kurang diminati tenaga kerja lokal. Hal ini membuka peluang bagi tenaga kerja luar daerah untuk mengisi sektor tersebut. Jika situasi ini berlanjut akan mengancam daya beli masyarakat lokal hingga perlemahan ekonomi.
Pengamat Ekonomi, Prof. Dr. Ida Bagus Raka Suardana, S.E., MM di Denpasar, Rabu (2/4) mengatakan, sektor informal yang banyak diisi oleh tenaga kerja luar daerah akibat ketidaktertarikan tenaga kerja lokal ini berpotensi menimbulkan persaingan yang semakin ketat. Jika tidak dikelola dengan baik, ketidakseimbangan ini dapat mengancam stabilitas perekonomian daerah.
“Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Bali, sektor informal masih menjadi penyumbang utama tenaga kerja dengan proporsi sekitar 55 persen dari total angkatan kerja pada tahun 2023. Namun, tingkat partisipasi tenaga kerja lokal di sektor ini semakin menurun akibat pergeseran preferensi menuju pekerjaan formal yang menawarkan kestabilan pendapatan dan jaminan sosial yang lebih baik,” ungkapnya.
Dampak yang mungkin terjadi kata dia, adalah meningkatnya angka pengangguran di kalangan tenaga kerja lokal, menurunnya daya saing SDM Bali, dan berkurangnya sirkulasi ekonomi di tingkat rumah tangga akibat dominasi tenaga kerja luar.
Selain itu, sektor informal yang dikuasai oleh tenaga kerja luar dapat mengurangi peluang masyarakat Bali dalam memperoleh penghasilan yang berkelanjutan. Secara makro ekonomi kata Guru Besar Universitas Pendidikan Naisonal (Undiknas) ini, ketergantungan pada tenaga kerja luar dalam sektor informal dapat menyebabkan aliran pendapatan yang keluar dari Bali.
Hal ini akan memperlemah daya beli dan konsumsi domestik. “Berdasarkan laporan BI, konsumsi rumah tangga masih menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi Bali, dengan kontribusi mencapai 57,3 persen terhadap PDRB pada triwulan III 2024. Jika tenaga kerja lokal tidak dapat bersaing di sektor informal, maka potensi penurunan konsumsi akan berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan,” jelasnya.
Untuk mengatasi permasalahan ini, menurutnya diperlukan solusi strategis yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan. Pertama, pemerintah daerah perlu meningkatkan program pelatihan dan sertifikasi bagi tenaga kerja lokal agar lebih kompetitif dalam sektor informal. Program ini dapat mencakup peningkatan keterampilan teknis dan kewirausahaan yang memungkinkan masyarakat Bali lebih siap bersaing dalam industri berbasis jasa seperti pariwisata, perdagangan, dan UMKM.
Kedua, perlu adanya regulasi ketenagakerjaan yang lebih ketat untuk mengatur masuknya tenaga kerja luar, dengan memberikan prioritas kepada tenaga kerja lokal. Pemerintah dapat menerapkan kebijakan kuota atau insentif bagi pelaku usaha yang mempekerjakan tenaga kerja lokal.
Ketiga, sektor informal harus didorong untuk lebih formal melalui kebijakan yang mempermudah akses terhadap permodalan, teknologi, dan pemasaran. Dengan demikian, pekerja sektor informal lokal dapat mengembangkan usahanya dan meningkatkan taraf hidup mereka.
“Jika langkah-langkah ini tidak segera diterapkan, dampak negatif terhadap perekonomian Bali akan semakin besar. Termasuk peningkatan pengangguran, penurunan kesejahteraan masyarakat, dan melemahnya daya saing daerah,” ucapnya.
Oleh karena itu, sinergi antara pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat sangat diperlukan untuk memastikan sektor informal tetap menjadi bagian yg berkontribusi positif bagi perekonomian Bali.*wid